Terapi Non Farmakologi
Terapi tanpa obat bagi penderita adalah diet yang seimbang, jumlah kalori yang dibutuhkan sesuai dengan tinggi badan, berat badan, dan aktivitas. Pada keadaan tertentu, diperlukan diet rendah protein, banyak makan sayur dan buah serta melakukan aktivitas sesuai kemampuan untuk mencegah sembelit, menjalankan pola hidup yang teratur dan berkonsultasi dengan petugas kesehatan. Tujuan terapi diet pada pasien penderita penyakit hati adalah menghindari kerusakan hati yang permanen; meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan hati dengan keluarnya protein yang memadai; memperhatikan simpanan nutrisi dalam tubuh; mengurangi gejala ketidaknyamanan yang diakibatkan penyakit ini; dan pada penderita sirosis hati, mencegah komplikasi asites, varises esofagus dan ensefalopati hepatik yang berlanjut ke komplikasi hepatik hebat. Diet yang seimbang sangatlah penting. Kalori berlebih dalam bentuk karbohidrat dapat menambah disfungsi hati dan menyebabkan penimbunan lemak dalam hati.
Jumlah kalori dari lemak seharusnya tidak lebih dari 30% jumlah kalori secara keseluruhan karena mbahayakan sistem kardiovaskular. Selain diet yang seimbang, terapi tanpa obat ini harus disertai dengan terapi tanpa obat ini harus disertai dengan terapi non farmakologi lainnya seperti segera beristirahat bila merasa lelah dan menghindari minuman beralkohol
Terapi Farmakologi
Terapi tanpa obat tidak menjamin kesembuhan, untuk itu dilakukan cara lain dengan menggunakan obat-obatan. Golongan obat yang digunakan antara lain adalah aminoglikosida, antiamuba, antimalaria, antivirus, diuretik, kolagogum, koletitolitik dan hepatik protektor dan multivitamin dengan mineral.
Aminoglikosida
Antibiotika digunakan pada kasus abses hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Diberikan 3 kali sehari secara teratur selama tujuh hari atau sesuai petunjuk dokter. Antibiotika kombinasi biasanya digunakan untuk mencegah ketidakaktifan obat yang disebabkan oleh enzim yang dihasilkan bakteri
Antiamuba
Antiamuba seperti dehydroemetine, diiodohydroxyquinoline, diloxanide furoate, emetine, etofamide, metronidazole, secnidazole, teclozan, tibroquinol, tinidazole adalah preparat yang digunakan untuk amubiasis. Dengan terapi ini maka risiko terjadinya abses hati karena amuba dapat diminimalkan.
Antimalaria
Antimalaria, misalnya klorokuin, dapat juga digunakan untuk mengobati amubiasis. Obat ini mencegah perkembangan abses hati yang disebabkan oleh amuba.
Antivirus
Lamivudine adalah obat antivirus yang efektif untuk penderita hepatitis B. Virus hepatitis B membawa informasi genetik DNA. Obat ini mempengaruhi proses replikasi DNA dan membatasi kemampuan virus hepatitis B berproliferasi. Lamivudine merupakan analog nukleosida deoxycytidine dan bekerja dengan menghambat pembentukan DNA virus hepatitis B. Pengobatan dengan lamivudine akan menghasilkan HBV DNA yang menjadi negatif pada hampir semua pasien yang diobati selama 1 bulan. Lamivudin akan meningkatkan angka serokonversi HBeAg, mempertahankan fungsi hati yang optimal,dan menekan terjadinya proses nekrosis-inflamasi. Lamivudine juga mengurangi kemungkinan terjadinya fibrosis dan sirosis serta dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kanker hati. Profil keamanan lamivudine sangat memuaskan, dimana profil keamanannya sebanding dengan plasebo. Lamivudine diberikan peroral sekali sehari, sehingga memudahkan pasien dalam penggunaannya dan meningkatkan kepatuhan penggunaan obat. Oleh karenanya penggunaan lamivudine adalah rasional untuk terapi pada pasien dengan hepatitis B kronis aktif.
Dalam pengobatan Anti Retroviral (ARV) pada koinfeksi hepatitis C, saat ini tersedia ARV gratis di Indonesia. ARV yang tersedia gratis adalah Duviral (Zidovudine + Lamivudine) dan Neviral (Nevirapine). Sedangkan Efavirenz (Stocrin) tersedia gratis dalam jumlah yang amat terbatas. Didanosine atau Stavudine tidak boleh diminum untuk penderita yang sedang mendapat pengobatan interferon dan Ribavirin, karena beratnya efek samping terhadap gangguan faal hati.
Zidovudine, termasuk Duviral dan Retrovir harus ketat dipantau bila digunakan bersama Ribavirin (untuk pengobatan hepatitis C), karena masing-masing dapat menimbulkan anemia. Anemia dapat diantisipasi dengan pemberian eritropoietin atau tranfusi darah. Neviraldapat mengganggu faal hati. Jadi, kadar hemoglobin dan leukosit serta tes faal hati (SGOT, SGPT, bilirubin, dan lain-lain) harus dipantau ketat.
Menurut tim ahli Amerika (DHHS, April 2005), Nevirapin walaupun dapat menimbulkan gangguan faal hati, boleh digunakan pada penderita dengan koinfeksi hepatitis C, dengan pemantauan yang seksama. Konsensus Paris 2005 menganjurkan pemberian Pegylated Interferon-Ribavirin selama 48 minggu. Koinfeksi dengan hepatitis C memerlukan penatalaksanaan yang lebih khusus dan komprehensif. Jenis kombinasi ARV juga perlu dipantau lebih ketat terhadap gangguan faal hati, anemia dan leukopenia. Peginterferon dan Ribavirin dalam kombinasi dengan Interferon selain bermanfaat mengatasi hepatitis C juga untuk hepatitis D. Ada juga obat-obatan yang merupakan kombinasi imunologi dan antivirus yang tampaknya dapat menekan kadar virus hepatitis C dalam darah secara lebih efektif dari pada terapi ulang dengan interferon saja.
Thymosin alpha 1 adalah suatu imunomodulator yang dapat digunakan pada terapi hepatitis B kronik sebagai monoterapi atau terapi kombinasi dengan interferon.
Diuretik
Diuretik tertentu, seperti Spironolactone, dapat membantu mengatasi edema yang menyertai sirosis hati, dengan atau tanpa asites. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan keseimbangan elektrolit atau gangguan ginjal berat karena menyebabkan ekskresi elektrolit. Obat diuretik lain yang digunakan dalam penyakit hati selain spironolakton adalah furosemid yang efektif untuk pasien yang gagal memberikan tanggapan terhadap Spironolactone. Obat lain seperti Thiazide atau Metolazone dapat bermanfaat pada keadaan tertentu.
Kolagogum, kolelitolitik dan hepatic protector.
Golongan ini digunakan untuk melindungi hati dari kerusakan yang lebih berat akibat hepatitis dan kondisi lain. Kolagogum misalnya: calcium penthothenat, phosphatidyl choline, silymarin dan ursodeoxycholic acid dapat digunakan pada kelainan yang disebabkan karena kongesti atau insufisiensi empedu, misalnya konstipasi biliari yang keras, ikterus dan hepatitis ringan, dengan menstimulasi aliran empedu dari hati. Namun demikian, jangan gunakan obat ini pada kasus hepatitis akut atau kelainan hati yang sangat toksis
Multivitamin dengan mineral
Golongan ini digunakan sebagai terapi penunjang pada pasien hepatitis dan penyakit hati lainnya. Biasanya penyakit hati menimbulkan gejala-gejala seperti lemah, malaise, dan lain-lain, sehingga pasien memerlukan suplemen vitamin dan mineral. Hati memainkan peranan penting dalam beberapa langkah metabolisme vitamin. Vitamin terdiri dari vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (fat-soluble) seperti vitamin A, D, E dan K atau yang larut dalam air (water-soluble) seperti vitamin C dan B-kompleks.
kompleks.
Penyimpanan vitamin B12 biasanya jauh melebihi kebutuhan tubuh; defisiensi jarang terjadi karena penyakit hati atau gagal hati. Tetapi, ketika masukan gizi makanan menurun, biasanya tubuh juga kekurangan tiamin dan folat. Biasanya suplemen oral cukup untuk mengembalikan tiamin dan folat ke level normal.
Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak tidak hanya membutuhkan asupan gizi makanan yang cukup tetapi juga pencernaan yang baik serta penyerapan yang baik oleh tubuh. Oleh sebab itu, produksi bilirubin dalam saluran cerna atau usus dibutuhkan untuk penyerapan vitamin-vitamin ini dengan baik. Bilirubin bekerja sebagai deterjen, memecah-mecah dan melarutkan vitamin-vitamin ini agar mereka dapat diserap tubuh dengan baik. Jika produksi bilirubin buruk, suplemen oral vitamin-vitamin A, D, E, K mungkin tidak akan cukup untuk mengembalikan level vitamin ke level normal. Penggunaan larutan serupa deterjen dari vitamin E cair meningkatkan penyerapan vitamin E pada pasien dengan penyakit hati tahap lanjut. Larutan yang sama juga dapat memperbaiki penyerapan vitamin A, D, dan K jika vitamin K diminum secara bersamaan dengan vitamin E.
Asupan vitamin A dalam jumlah yang cukup, dapat membantu mencegah penumpukan jaringan sel yang mengeras, yang merupakan karakteristik penyakit hati. Tetapi penggunaan vitamin yang larut lemak ini untuk jangka panjang dan dengan dosis berlebihan dapat menyebabkan pembengkakan hati dan penyakit hati.
Vitamin E dapat mencegah kerusakan pada hati dan sirosis, menurut percobaan dengan memberi suplemen vitamin E pada tikus dalam jumlah yang meningkatkankadar vit. E di hati. Tikus-tikus itu kemudian diberi karbon tetraklorida yang bersifat hepatotoksis, untuk melihat apakah suplemen vitamin E yang dilakukan sebelumnya dapat melindungi mereka baik dari kerusakan hati akut atau kronis dan sirosis. Suplemen vitamin E meningkatkan kandungan vitamin dalam tiga bagian hati dan mengurangi kerusakan oksidatif pada sel-sel hati, tetapi tidak memiliki dampak perlindungan apapun pada infiltrasi lemak hati. Sirosis juga tampak dapat dicegah dalam kelompok tikus yang diberi suplemen vitamin E. Tampaknya vitamin E memberi cukup perlindungan terhadap nekrosis akibat karbon tetraklorida dan sirosis, mungkin dengan mengurangi penyebaran proses oksidasi lipid dan mengurangi jangkauan kerusakan oksidatif di hati.
Terapi dengan Vaksin
Interferon merupakan sistem imun alamiah tubuh dan bertugas untuk melawan virus. Obat ini bermanfaat dalam menangani hepatitis B, C dan D. Imunoglobulin hepatitis B dapat membantu mencegah berulangnya hepatitis B setelah transplantasi hati. Interferon adalah glikoprotein yang diproduksi oleh sel-sel tertentu dan T-limfosit selama infeksi virus. Ada 3 tipe interferon manusia, yaitu interferon α, interferon β dan interferon γ; yang sejak tahun 1985 telah diperoleh murni dengan jalan teknik rekombinan DNA. Pada proses ini, sepotong DNA dari leukosit yang mengandung gen interferon, dimasukkan ke dalam plasmid E.coli. Dengan demikian kuman ini mampu memperbanyak DNA tersebut dan mensintesis interferon
Ada juga vaksin HBV orisinil pada tahun 1982 yang berasal dari pembawa HBV, kini telah digantikan dengan vaksin mutakhir hasil rekayasa genetika dari ragi rekombinan. Vaksin mengandung partikel-partikel HBsAg yang tidak menular. Tiga injeksi serial akan menghasilkan antibody terhadap HbSAg pada 95 % kasus yang divaksinasi, namun tidak memiliki efek terhadap individu pembawa.